Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

4 Fakta Kerugian Lingkungan Kasus Timah Rp 271 T Belum Final

4 Fakta Kerugian Lingkungan Kasus Timah Rp 271 T Belum Final

4 Fakta Kerugian Lingkungan Kasus Timah Rp 271 T Belum Final – Harvey Moeis, yang merupakan suami dari aktris Sandra Dewi, telah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus korupsi yang melibatkan komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

4 Fakta Kerugian Lingkungan Kasus Timah Rp 271 T Belum Final
Harvey Moeis, yang merupakan suami dari aktris Sandra Dewi

4 Fakta Kerugian Lingkungan Kasus Timah Rp 271 T Belum Final

Suami artis Sandra dewi Tersangka ke-16 dalam rangkaian kasus korupsi yang terkait dengan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, yang terjadi dari tahun 2015 hingga 2022.

Kejagung menyampaikan bahwa kasus korupsi ini mengakibatkan kerugian lingkungan mencapai angka fantastis, yakni Rp 271 triliun.

Walaupun angka tersebut seringkali dipahami oleh masyarakat sebagai kerugian negara, sebenarnya hal ini tidak sepenuhnya benar. Berikut beberapa detail yang perlu diketahui terkait kasus tersebut.

1. Asal-usul Angka Rp 271 Triliun dalam Kasus Timah

Sebelum kasus dugaan korupsi terkait tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah TBK yang melibatkan Harvey Moeis menjadi perhatian publik.

Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 19 Februari 2024 mengungkapkan hasil perhitungan kerugian lingkungan yang dilakukan oleh ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang bernama Bambang Hero Saharjo.

Bambang Hero Saharjo melakukan perhitungan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan hutan di Bangka Belitung (Babel) sebagai dampak dari dugaan korupsi tersebut.

Menurut Bambang, total kerugian tersebut mencapai angka yang mencengangkan, yaitu sekitar Rp 271.069.688.018.700 atau setara dengan Rp 271 triliun.

Dalam jumpa pers bersama Kejagung, Bambang menyatakan bahwa jumlah kerugian tersebut seharusnya ditanggung oleh negara.

Angka ini bukanlah representasi dari kerugian negara yang timbul dalam kasus ini, namun merupakan estimasi awal sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 1 dari Peraturan Menteri LH 7/2014.

Saat ini, pihak Kejagung masih menunggu hasil perhitungan lebih lanjut dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memperoleh gambaran yang lebih akurat mengenai kerugian yang sebenarnya.

Bambang menjelaskan bahwa angka sebesar Rp 271 triliun adalah hasil dari perhitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan, baik di kawasan hutan maupun non-kawasan hutan.

Dia memaparkan secara rinci perhitungan kerugian yang terjadi di kedua jenis kawasan tersebut. Untuk kerugian yang terjadi di kawasan hutan, Bambang merinci sebagai berikut:

– Kerugian lingkungan ekologis diperkirakan sebesar Rp 157,83 triliun.
– Kerugian ekonomi lingkungan mencapai Rp 60,276 triliun.
– Biaya pemulihan lingkungan diperkirakan sebesar Rp 5,257 triliun.
Total kerugian yang terjadi di kawasan hutan mencapai Rp 223.366.246.027.050.

Sementara untuk kerugian yang terjadi di non-kawasan hutan, rinciannya adalah sebagai berikut:

– Biaya kerugian ekologis diperkirakan sebesar Rp 25,87 triliun.
– Kerugian ekonomi lingkungan mencapai Rp 15,2 triliun.
– Biaya pemulihan lingkungan diperkirakan sebesar Rp 6,629 triliun.
Total kerugian yang terjadi di non-kawasan hutan mencapai Rp 47,703 triliun.

4 Fakta Kerugian Lingkungan Kasus Timah Rp 271 T Belum Final
izin usaha pertambangan (IUP)

2. Kerugian Lingkungan Kasus Timah Rp 271 T Belum Final

Penentuan jumlah kerugian lingkungan terkait dugaan korupsi yang terjadi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk dari tahun 2015 hingga 2022 masih merupakan subjek perhitungan yang tengah berlangsung.

Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang menunggu hasil perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung, Kuntadi, menyatakan bahwa proses penghitungan kerugian keuangan negara masih berlangsung.

Proses tersebut melibatkan rumusan formula yang sedang dikerjakan secara bersama-sama oleh Kejagung, BPKP, dan para ahli.

Kuntadi menjelaskan bahwa perhitungan dari perspektif ahli lingkungan sudah dilakukan dan menghasilkan angka sebesar Rp 271 triliun sebagai jumlah kerugian.

Namun, ia menegaskan bahwa Kejagung akan menyampaikan jumlah kerugian negara yang akurat dalam kasus ini setelah BPKP menyelesaikan proses penghitungan.

“Iya, kami akan mengumumkan hasilnya nanti, tapi yang pasti, kami telah menyampaikan perkiraan jumlah kerugian dari sudut pandang ahli lingkungan beberapa waktu yang lalu. Sisanya masih dalam tahap perumusan untuk formula penghitungan yang akurat,” tegasnya.

3. Rujukan Ahli IPB Hitung Kerugian Lingkungan Kasus Timah

Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah melakukan proses penghitungan kerugian negara terkait dugaan korupsi dalam perdagangan komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk dari tahun 2015 hingga 2022.

Penghitungan kerugian ekonomi negara dalam kasus ini akan dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014.

Peraturan tersebut, dikeluarkan dengan nomor 7 tahun 2014, memberikan panduan tentang cara menghitung kerugian lingkungan hidup yang disebabkan oleh pencemaran atau kerusakan lingkungan.

Permen LH ini mengatur aturan-aturan terkait penaksiran kerugian negara yang timbul akibat kerusakan lingkungan hidup.

4 Fakta Kerugian Lingkungan Kasus Timah Rp 271 T Belum Final
Kejaksaan Agung (Kejagung)

Berikut merupakan rincian dari pasal-pasal yang mengatur mengenai penghitungan kerugian lingkungan dalam sebuah peraturan terkait, seperti yang dilaporkan pada Jumat (29/3/2024).

Pasal 4

(1) Penghitungan kerugian lingkungan hidup dilakukan oleh ahli di bidang:
a. pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/atau;
b. valuasi ekonomi lingkungan hidup.

(2) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh:
a. pejabat eselon I yang tugas dan fungsinya bertanggung jawab dibidang
penaatan hukum lingkungan Instansi Lingkungan Hidup Pusat; atau
b. pejabat eselon II Instansi Lingkungan Hidup Daerah.

(3) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas:
a. bukti telah melakukan penelitian; dan/atau
b. bukti telah berpengalaman, di bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan Format Penunjukan Ahli sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini

Pasal 5

(1) Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sesuai dengan Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, dan/atau masyarakat.

Pasal 6

(1) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup oleh ahli dipergunakan sebagai penilaian awal dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.

(2) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dihitung oleh ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengalami perubahan dalam proses Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.

(3) Perubahan besarnya Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis.

(4) Faktor teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain :

a. durasi waktu atau lama terjadinya Pencemaran dan/atau Kerusakann Lingkungan Hidup;
b. volume polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;
c. parameter polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;
d. luasan lahan dan sebaran Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/atau
e. status lahan yang rusak.

(5) Faktor nonteknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:
a. inflasi; dan/atau
b. kebijakan pemerintah.

4 Fakta Kerugian Lingkungan Kasus Timah Rp 271 T Belum Final
5 dari 16 Tersangka Kasus Timah

4. Ada 16 Tersangka Kasus Timah

Dalam kasus korupsi yang terkait dengan perdagangan timah, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sebanyak 16 orang sebagai tersangka. Berikut adalah daftar lengkap dari keseluruhan 16 tersangka tersebut:

1. SG, juga dikenal sebagai AW, yang berperan sebagai Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
2. MBG, seorang Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
3. HT, yang dikenal dengan nama ASN, menjabat sebagai Direktur Utama di CV VIP, perusahaan yang dimiliki oleh Tersangka TN alias AN.
4. MRPT atau RZ, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Timah Tbk pada periode tahun 2016 hingga 2021.
5. EE, juga dikenal sebagai EML, yang menjabat sebagai Direktur Keuangan PT Timah Tbk pada tahun 2017 hingga 2018.
6. BY, mantan Komisaris di CV VIP.
7. RI, yang menjabat sebagai Direktur Utama di PT SBS.
8. TN, yang memiliki kepemilikan saham di CV VIP dan PT MCN.
9. AA, yang bertanggung jawab sebagai Manajer Operasional tambang di CV VIP.
10. TT, yang merupakan tersangka kasus perintangan penyidikan perkara.
11. RL, yang menjabat sebagai General Manager di PT TIN.
12. SP, yang menjabat sebagai Direktur Utama di PT RBT.
13. RA, yang menjabat sebagai Direktur Pengembangan Usaha di PT RBT.
14. ALW, yang menjabat sebagai Direktur Operasional pada tahun 2017, 2018, dan 2021, serta sebagai Direktur Pengembangan Usaha pada tahun 2019 hingga 2020 di PT Timah Tbk.
15. Helena Lim, yang menjabat sebagai manager di PT QSE.
16. Harvey Moeis, yang merupakan perpanjangan tangan dari PT RBT.

4 Fakta Kerugian Lingkungan Kasus Timah Rp 271 T Belum Final
Helena Lim
Share: