Tiktok Didenda Rp 5 Triliun, Pelanggaran Perlindungan Data Anak di Eropa – Regulator Eropa telah meminta platform media sosial TikTok membayar denda senilai 368 juta dollar AS setelah memutuskan aplikasi itu gagal melindungi anak-anak dalam platformnya.
Denda tersebut setara Rp 5,65 triliun pada kurs Rp 15.371 per dollar AS. Komisi Perlindungan Data Irlandia (The Irish Data Protection Commission) yang mengawasi aktivitas TikTok di Uni Eropa mengatakan, perusahaan tersebut telah melanggar undang-undang privasi khas blok tersebut.
Tiktok Didenda Rp 5 Triliun, Pelanggaran Perlindungan Data Anak di Eropa
Komisi tersebut menemukan pada paruh kedua 2020, pengaturan default TikTok tidak cukup melindungi akun anak-anak.
Misalnya, profil anak-anak yang baru dibuat ditetapkan ke publik secara default. Itu berarti siapa pun di internet dapat melihatnya.
TikTok tidak cukup mengungkapkan risiko privasi ini kepada anak-anak. Selain itu, TikTok disebut melanggar undang-undang privasi UE.
Fitur TikTok yang dirancang sebagai kontrol orang tua dan dikenal sebagai Family Pairing tidak mengharuskan orang dewasa yang mengawasi akun anak diverifikasi sebagai orang tua atau wali sebenarnya dari anak tersebut.
Penyimpangan ini berarti, secara teoretis setiap orang dewasa dapat melemahkan perlindungan privasi anak-anak.
DPC ( Data Protection Commission )memberikan TikTok waktu tiga bulan untuk menyesuaikan pemrosesan data jika masih ditemukan pelanggaran.
Selain itu, DPC juga sedang menyelidiki transfer data pribadi oleh TikTok ke Tiongkok serta kepatuhan TikTok terhadap regulasi privasi Uni Eropa saat mentransfer data pribadi ke negara-negara di luar wilayah tersebut.
Dengan mengacu pada General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa yang mulai berlaku pada tahun 2018.
Regulator utama dapat memberikan denda hingga 4% dari pendapatan global perusahaan sebagai sanksi atas pelanggaran privasi data.
DPC sebelumnya juga telah memberikan denda besar kepada perusahaan teknologi lainnya, termasuk denda gabungan sekitar 2,5 miliar euro yang dijatuhkan pada Meta.
Sedikit catatan, TikTok memperkenalkan Family Pairing pada April 2020.
Fitur ini memungkinkan orang dewasa menghubungkan akun mereka dengan akun anak-anak untuk mengatur waktu pemakaian perangkat, membatasi konten yang tidak diinginkan, dan membatasi pesan langsung kepada anak-anak.
Temuan utama dalam investigasi ini mencakup:
* Secara default, konten yang diunggah oleh anak-anak akan masuk pada konten publik, sehingga membahayakan anak-anak dari risiko luar.
* Kurangnya transparansi informasi kepada pengguna anak.
* Penerapan pola gelap untuk mengarahkan pengguna memilih opsi menganggu privasi selama proses registrasi dan saat mengunggah video.
* Kelemahan dalam pengaturan Family Sharing yang memungkinkan pengguna dewasa untuk memasangkan akun mereka dengan akun anak di bawah umur.
Selain denda finansial, DPC telah memerintahkan TikTok untuk memperbaiki mekanisme pemrosesannya dalam waktu tiga bulan.
TikTok telah merespons dengan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keputusan tersebut dan mengklaim bahwa kritiknya berfokus pada fitur dan pengaturan yang sudah ada sejak tiga tahun lalu.
Perusahaan juga berencana untuk meluncurkan alur pendaftaran ulang yang didesain ulang untuk pengguna baru berusia 16 dan 17 tahun, yang akan otomatis menjadi akun pribadi.
Perlu dicatat bahwa TikTok didenda sebelumnya oleh pengawas perlindungan data Prancis pada Januari 2023 karena pelanggaran aturan persetujuan cookie dan permasalahan dengan mekanisme opt-out.
Kasus ini mencerminkan peningkatan perhatian terhadap privasi data dan perlindungan anak-anak di dunia digital, serta upaya otoritas regulasi untuk memastikan bahwa perusahaan teknologi mematuhi peraturan dan menjaga privasi pengguna.
Terlepas dari sanksi denda di Uni Eropa, TikTok juga tengah disorot di Indonesia. Kali ini terkait dengan serbuan produk impor via TikTok yang mengancam eksistensi produk UMKM.
Ketua Bidang UMKM Koperasi dan Kewirausahaan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Tri Febrianto meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan perhatian serius dan memperkuat eksistensi UMKM dengan mewaspadai serbuan produk impor dari berbagai e-commerce. Salah satunya melalui platform digital TikTok dengan Project S.
Menurut Buyung panggilan Tri Febrianto Project S milik TikTok berpotensi menjadi tsunami besar bagi pertumbuhan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam negeri.
Lanjutnya HIPMI mendorong Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan untuk segera merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.50 Tahun 2020 untuk memperkuat ketentuan perizinan usaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui system elektronik.
“Revisi ini diharapkan segera dilakukan untuk melindungi UMKM di Tanah Air. pasalnya untuk saat ini perdagangan di ranah media sosial seperti ruang yang kosong (tanpa regulasi), ini yang kemudian memicu pihak TikTok bisa bertindak dengan seenaknya dengan menciptakan pertarungan usaha tidak seimbang dengan pelaku UMKM lokal”, ucapnya.
“Sosial e-commerce hari ini menjadi mimpi buruk bagi para UMKM Lokal, karena yang berjualan melalui sosial e-Commerce telah menjelma menjadi predator pricing dimana para produsen di e-commerce memutus mata rantai penjualan yang sangat panjang ditambah lagi mereka menjual dengan harga yg lebih murah dari pesaing tujuannya untuk mematikan pesaingnya, ini sangat berbahaya”, pungkasnya.
Untuk diketahui, Project S merupakan platform e-commerce yang diluncurkan oleh perusahaan induk TikTok, ByteDance.
Platform ini dilaporkan telah beroperasi di pasar Inggris pada 21 Juni 2023 kemarin.
Berbeda dengan TikTok Shop yang beroperasi sebagai platform penjualan online di mana para pedagang dapat memamerkan dan menjual produk mereka, Project S merupakan platform di mana perusahaan langsung menjual dagangannya sendiri.
Dalam penerapan Project S ini, para pemilik akun TikTok di Inggris dapat menggunakan fitur belanja baru dalam aplikasi TikTok mereka yang disebut Trendy Beat.
Fitur ini menawarkan barang-barang yang populer, seperti alat untuk mengekstrak kotoran telinga atau menyikat bulu hewan dari pakaian.
Diberitakan semua barang yang diiklankan itu nantinya akan langsung dikirim dari China, dan dijual oleh perusahaan milik TikTok yang terdaftar di Singapura.
Modelnya mirip dengan cara Amazon membuat dan mempromosikan sendiri rangkaian produk terlarisnya.