Kominfo Ungkap Starlink Resmi Bayar Frekuensi Radio Rp23 M per Tahun – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan bahwa biaya layanan internet berbasis satelit Starlink, yang baru saja resmi beroperasi di Indonesia, mencapai Rp23 miliar per tahun.
Kominfo Ungkap Starlink Resmi Bayar Frekuensi Radio Rp23 M per Tahun
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kominfo, Ismail, menyatakan bahwa Biaya Hak Penggunaan (BHP) berdasarkan Izin Stasiun Radio (ISR) Spektrum Frekuensi Radio untuk layanan satelit seperti Starlink merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku di Kominfo.
“Besaran BHP ISR yang dibebankan kepada Starlink yang benar adalah sekitar Rp23 miliar per tahun,” kata Ismail, mengutip dari laman resmi Kominfo, Senin (24/6).
Pernyataan Ismail ini sekaligus membantah rumor yang menyebut Starlink hanya membayar Rp2 miliar per tahun.
Menurut Ismail, regulasi mengenai BHP tersebut, yaitu PP Nomor 43 Tahun 2023, telah ditetapkan setelah melalui serangkaian konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan dan tahapan harmonisasi dengan sejumlah kementerian terkait lainnya.
Ismail menjelaskan bahwa BHP Seluler yang melekat pada Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) berbeda dengan BHP Satelit yang berupa ISR.
Menurutnya, BHP IPFR seluler bersifat eksklusif, yang artinya satu pita frekuensi, satu pemegang izin, untuk satu wilayah layanan.
Sedangkan BHP ISR Satelit tidak bersifat eksklusif, sehingga satu pita frekuensi tertentu tidak hanya digunakan oleh satu pemegang izin, tetapi juga bersama-sama dengan penyelenggara satelit lain.
“Penggunaan frekuensi untuk satelit menggunakan pola berbagi frekuensi melalui pemanfaatan slot orbit yang berbeda atau pembagian wilayah cakupan, sehingga tidak eksklusif di satu pita frekuensi tertentu. Hal yang sama juga berlaku untuk layanan Starlink,” jelasnya.
Menurut Ismail, ISR, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, durasi penggunaannya lebih pendek dibandingkan dengan IPFR. Jika IPFR dapat diberikan maksimal 10 tahun, ISR hanya diberikan maksimal 5 tahun.
“Khusus untuk satelit asing, juga terikat dengan siklus evaluasi tahunan terhadap hak labuh yang telah diterbitkan,” kata Ismail.
Ismail menjelaskan bahwa BHP IPFR Seluler, terutama pada tahun-tahun awal pemberian izin, biasanya ditetapkan melalui mekanisme lelang frekuensi, di mana terjadi kompetisi harga di antara para calon pemegang izin.
Hal ini berbeda dengan BHP ISR, termasuk untuk layanan satelit, yang perhitungannya menggunakan formulasi sesuai PP Nomor 43 Tahun 2023.
Ia juga mengklarifikasi rumor mengenai kemungkinan Starlink memberikan layanan langsung ke handset atau telepon pelanggan seluler di Indonesia. Ismail menegaskan bahwa layanan direct to cell tidak bisa langsung diberikan kepada Starlink saat ini.
“Mengingat belum ada regulasi yang mengatur penyelenggaraannya dan berpotensi mengganggu frekuensi jaringan seluler yang eksklusif digunakan oleh para operator seluler,” jelasnya.