Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Miris, Kasus Bullying di Indonesia Posisi ke-5 Dunia

Miris, Perundungan di Indonesia Posisi ke-5 Dunia – Mengutip studi Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia termasuk negara dengan kasus bullying terbanyak kelima di dunia. Kasus Bullying di Indonesia sebanyak 41 persen pelajar berusia 15 tahun dalam satu bulan.

Miris, Perundungan di Indonesia Posisi ke-5 Dunia

Miris, Perundungan di Indonesia Posisi ke-5 Dunia

Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak murid mengalami kasus bullying.

Menurut Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, pihaknya menemukan setidaknya 12 kasus bullying sejak Januari hingga Mei 2023.

Baru-baru ini juga Indonesia dihebohkan dengan kasus seorang siswa SMP di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Ia menjadi sorotan usai diketahui membakar sekolahnya, pada Juni. Kabarnya, siswa tersebut melakukan hal itu karena ia menjadi korban bullying.

Di sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerangkan bahwa kasus perundungan yang ditangani KPAI terhadap anak-anak paling banyak didominasi oleh siswa Sekolah Dasar.

United Nation International Children’s Emergency Fund (UNICEF) mencatat bahwa Indonesia memiliki persentase lebih tinggi terkait kekerasan anak.

Jika dibandingkan negara Asia lainnya seperti Vietnam, Nepal maupun Kamboja, Indonesia menempati posisi yang lebih tinggi.

Miris, Perundungan di Indonesia Posisi ke-5 Dunia

Data Kasus Bullying di Indonesia

Jenis bullying –  Proporsi pelajar 15 tahun yang mengalami bullying dalam satu bulan

Dipukul atau disuruh-suruh dengan murid lain – 18 persen
Murid lain mengambil atau menghancurkan barang kepunyaan – 22 persen
Pengancaman oleh murid lain – 14 persen
Pengejekan oleh murid lain – 22 persen
Mengucilkan dengan sengaja – 19 persen
Murid lain memfitnah atau menyebarkan rumor yang tidak baik – 20 persen

Kasus bullying di Indonesia seolah mengakar dan tidak ada ujungnya, khususnya di lingkungan sekolah. Untuk menekankan kasus bullying di Indonesia diperlukan kerja sama antara orang tua, guru, masyarakat dan juga pihak sekolah.

Kasus Perundungan Anak di Indonesia Parah

Salah satu hak anak yang penting untuk dipenuhi adalah hak anak untuk mendapatkan pendidikan dasar.

Namun, ada beberapa permasalahan anak dalam pendidikan yang mempengaruhi kehidupan mereka ketika dewasa, bahkan mampu merenggut masa depan anak misalnya perundungan atau bullying.

Plt Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Anggin Nuzula Rahma menyebut data KPAI sejak tahun 2011-2019 mencatat ada 574 anak laki-laki yang menjadi korban bullying, 425 anak perempuan jadi korban bullying di sekolah.

Kemudian, ada 440 anak laki-laki dan 326 anak perempuan sebagai pelaku bullying di sekolah.

Sedangkan sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 17 kasus perundungan yang terjadi di berbagai jenjang di satuan Pendidikan.

“Banyaknya kasus bullying yang terjadi di satuan pendidikan, bukan hanya terjadi sesama siswa, tapi dapat juga terjadi pada para pendidik dan tenaga kependidikan. Tidak sedikit guru yang melakukan kekerasan dengan tujuan pendisiplinan. Ada oknum guru berdalih mendisiplinkan anak-anak yang menggunakan cara-cara kekerasan termasuk melakukan bullying,” ujar Anggin dalam Webinar Series Stop Tradisi Bullying di Satuan Pendidikan.

Miris, Perundungan di Indonesia Posisi ke-5 Dunia

Anggin menjelaskan, perundungan dapat menyebabkan trauma baik fisik maupun psikologis yang punya dampak buruk yang besar bagi anak.

Di samping itu, hadirnya media sosial dan internet yang dekat dengan anak ternyata menjadi ruang baru bagi tumbuhnya Cyberbullying atau perundungan di ranah digital.

“Cyberbullying ini yang juga marak terjadi saat ini. Oleh karena itu, pencegahan kekerasan melalui satuan pendidikan bukan hanya dilakukan melalui slogan-slogan yang ada, tapi harus dilakukan secara menyeluruh melalui proses peneladanan yang dilakukan dalam kegiatan sehari-hari,” jelas Anggin.

KemenPPPA memandang bahwa kasus bullying di Indonesia sangat memprihatinkan dan perlu upaya yang holistik dan integratif dalam pencegahan bullying.

Upaya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, bukan hanya tanggung jawab guru semata sebagai pendidik, namun seluruh sektor seperti orang tua sebagai pendidik utama, pemerintah, dunia usaha, lembaga masyarakat, media, dan masyarakat pada umumnya.

Putri Marlenny, praktisi dari Rumah Duta Revolusi Mental Dinas Pendidikan Kota Semarang memaparkan, ada beberapa penyebab terjadinya tindak kekerasan bullying di sekolah berasrama atau pondok pesantren.

Diantaranya, kurangnya sarana dan sumber daya dalam pengawasan kegiatan peserta didik atau santri.

Lingkungan pertemanan yang negative, budaya bullying turun temurun, kebijakan atau regulasi sekolah berasrama atau pondok pesantren yang belum jelas tentang pencegahan dan penanganan tindak kekerasan.

Faktor Individu seperti balas dendam, karakter reaktif, agresif, ingin berkuasa, dan lainnya, serta anggapan tidak sopan berdasarkan norma kelompok tertentu.

“Dari pengalaman kami ketika melakukan intervensi di satuan pendidikan berasrama atau pesantren, ternyata sumber daya manusianya belum memiliki pemahaman yang sama tentang apa itu arti kekerasan, pemenuhan hak anak dan intervensi yang harus dilakukan jika terjadi kekerasan dan bullying dan upaya pencegahannya. Intervensi perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini,” jelas Putri.

Menurut Putri, intervensi dapat dilakukan dengan melakukan prinsip 7K dalam pencegahan dan penanganan kekerasan (bullying) yaitu kesadaran, kesediaan, komitmen, konsistensi, kerjasama dan keterbukaan.

“Segala hal tindak kekerasan bullying di sekolah berasrama merupakan masalah yang harus segera ditangani secara tuntas. Seluruh warga di satuan pendidikan berasrama atau ponpes harus sadar bahwa tindak kekerasan adalah suatu hal yang sangat serius dan harus ditangani dengan mengedepankan perspektif anak sebagai korban,” tutur Putri.

Miris, Perundungan di Indonesia Posisi ke-5 Dunia

Meroket Di Kalangan Anak, KPAI Ambil Tindakan

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengakui angka kasus perundungan (bullying) pada anak terus meningkat. Perundungan tidak hanya terjadi di dunia nyata namun juga terjadi di dunia madia sosial.

Perundungan dapat menggangu fisik maupun psikologi korban yang menjadi masa depan bangsa.

Komisioner KPAI Kawiyan mengatakan perundungan yang terjadi sangat beragam, mulai sekadar meledek lewat pesan melalui alat komunikasi handphone hingga aksi kekerasan seperti menampar atau menendang.

“Perundungan sangat berdampak negatif pada anak yang menjadi korban, baik secara psikilogis maupun secara fisik,” kata Kawiyan saat dikonfirmasi, Minggu (1/10/2023).

Data yang dimiliki KPAI, kasus perundungan terhadap anak masih sangat tinggi.

Meski tidak menjelaskan detail angkanya, Kawiyan mengatakan anak korban cyberbullying dan pornografi masih jadi 3 besar.

“Jumlah kasus cyberbullying terus meningkat seiring dengan banyaknya anak-anak yang tersambung dengan internet dan menggunakan alat komuniasi,” tambahnya.

Faktor-faktor penyebab perundungan seperti lingkungan rumah, teman bermain, lingkungan sekolah dan media sosial yang merupakan sumber informasi anak-anak.

Masalah perundungan diatur dalam Pasal 80 ayat (1) Jo Pasal 76C UU Perlindungan Anak dengan ancaman pidana 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000 dan Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

“Dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, penyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak,” jelasnya.

Jika pelaku perundungan dilakukan oleh anak di bawah 14 tahun, maka diberlakukan sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Anak berusia 14 tahun melakukan tindak pidana, maka anak tersebut disebut dengan ABH yaitu Anak yang Berhadapan dengan Hukum.

“ABH, sesuai dengan pasal 59 UU Perlindungan Anak, harus mendapatkan perlindungan khusus. Misalnya penanganan kasusnya cepat, mendapatkan rehabilitasi psikis, fisik dan sosial, pendampingan psikosisoal sampai pemulihan, pemberian pendampingan pada setiap proses peradilan,” jelasnya.

Selain itu, sesuai pasal 64, ABH harus diperlakukan secara manusiawi, dipisahkan dari pelaku orang dewasa, pemberian bantuan hukum, tidak dipublikasikan identitasnya, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Miris, Perundungan di Indonesia Posisi ke-5 Dunia

Share: