- Mengenang Jasa Pahlawan G30S PKI tahun 1965
- Mengapa Disebut Pahlawan Revolusi?
- G30S/PKI tahun 1965
- 1. Perubahan Pemerintahan Indonesia Menjadi Pemerintahan Komunis
- 2. Menghapus Pengaruh Militer
- 3. Mengganti Ideologi Pancasila Menjadi Ideologi Komunis
- Kronologi Singkat G30S/PKI
- Profil Tokoh Bergelar Pahlawan Revolusi
- 1. Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani
- Berikut dua versi asal-usul nama Lubang Buaya:
Mengenang Jasa Pahlawan G30S PKI tahun 1965 – Tokoh-tokoh yang gugur dalam peristiwa pemberontakan G30S/PKI disebut sebagai Pahlawan Revolusi. Ini merupakan gelar kehormatan bagi para korban dalam pemberontakan Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia.
Mengenang Jasa Pahlawan G30S PKI tahun 1965
Adapun para tokoh Pahlawan Revolusi terdiri dari para petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) dan beberapa korban lainnya.
Penetapan tokoh yang gugur dalam G30S/PKI sebagai Pahlawan Revolusi ini berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES).
Lantas mengapa disebut sebagai Pahlawan Revolusi? Simak penjelasan alasan kenapa para tokoh yang gugur dalam pemberontakan G30S/PKI diberi gelar Pahlawan Revolusi berikut:
Mengapa Disebut Pahlawan Revolusi?
Menurut situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Pahlawan Revolusi adalah gelar yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada sejumlah perwira TNI yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI.
Para tokoh yang gugur dalam tugas diberikan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) sebagai Pahlawan Revolusi.
Penetapannya sebagai Pahlawan Revolusi berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) pada tahun 1965. Selanjutnya, sejak ditetapkannya Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, mereka yang bergelar Pahlawan Revolusi diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Tokoh-tokoh Pahlawan Revolusi merupakan korban G30S/PKI yang gugur demi melindungi ideologi negara Indonesia.
Dalam sejarahnya, mereka diculik dan dibunuh lalu jasadnya dibuang ke sumur tua yang kini dikenal sebagai Lubang Buaya. Setelah itu jasad mereka disemayamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP).
G30S/PKI tahun 1965
G30S PKI atau Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia merupakan merupakan sebuah peristiwa berdarah yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965.
Peristiwa ini terjadi pada malam hari, tepatnya pada pergantian dari tanggal 30 September atau 1 Oktober 1965.
Tragedi ini melibatkan unit Cakrabirawa (pasukan khusus yang bertugas menjaga keselamatan residen) dan Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Tujuan Gerakan G30S PKI masih menjadi subjek perdebatan hingga saat ini. Beberapa anggota yang terlibat dalam gerakan ini mengklaim bahwa gerakan ini di latar belakangi oleh berbagai motif dan tujuan, termasuk untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno.
Namun tak hanya itu, mereka juga menginginkan pemerintahan Indonesia berubah menjadi pemerintahan komunis.
Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit diduga sebagai pelopor atau otak utama kudeta G30S/PKI tahun 1965 karena posisinya sebagai Ketua Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI).
Awalnya, gerakan ini hanya bertujuan untuk menculik dan membawa paksa para Jenderal dan Perwira ke Lubang Buaya.
Namun, di bawah komando kolonel Untung, Pasukan Cakrabirawa melakukan penculikan dan menyebabkan tewasnya Perwira Tinggi dan Jenderal yang mereka bawa ke Lubang Buaya.
Tragedi G30S/PKI memiliki dampak besar terhadap sejarah Indonesia. Peristiwa ini tidak hanya mengubah pemerintahan dan politik di Indonesia, tetapi juga adanya gerakan anti komunis.
Meskipun peristiwa G30S/PKI telah lama berlalu, namun dampaknya masih terasa dalam politik Indonesia hingga saat ini.
Gerakan G30S/PKI memiliki tujuan yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan dan interpretasi berbeda. Namun,
beberapa tujuan G30S PKI yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Perubahan Pemerintahan Indonesia Menjadi Pemerintahan Komunis
Partai Komunis Indonesia adalah partai yang memiliki pandangan komunis. Salah satu tujuan dari partai ini adalah untuk menggulingkan politik nasional menjadi pemerintahan yang sesuai dengan pandangan PKI sehingga dapat memperkuat pengaruh komunis di Indonesia.
2. Menghapus Pengaruh Militer
Gerakan ini juga bertujuan untuk menghapus atau melemahkan pengaruh milter dalam politik Indonesia. Keterlibatan antar perwira tinggi militer dalam gerakan ini dapat diartikan sebagai usaha untuk menggantikan kekuasaan dengan paham komunis.
3. Mengganti Ideologi Pancasila Menjadi Ideologi Komunis
Gerakan ini juga bertujuan untuk mendorong perubahan sosial melalui pengambilalihan kekuasaan dengan cara mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi komunis.
Kronologi Singkat G30S/PKI
G30S PKI merupakan sebuah gerakan yang bertujuan untuk menggulingkan politik nasional menjadi pemerintahan yang menerapkan sistem komunis.
Dipimpin oleh DN Aidit, gerakan ini membentuk Angkatan Kelima yang kemudian ditolak tegas oleh Panglima TNI Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani pada tanggal 27 September 1965.
Gerakan G30S PKI mengincar Perwira Tinggi TNI AD Indonesia. Mereka menangkap enam orang dari anggota perwira tersebut namun 3 orang langsung dibunuh di perkarangan rumahnya.
Sementara anggota perwira lainnya dibawa paksa menuju Lubang Buaya dan pada akhirnya tewas akibat disiksa.
Selain enam Jenderal yang gugur, ajudan Menhankam/Kasab Jenderal Nasution, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, dan Pengawal Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, dan Brigadir Polisi Satsuit Tubun juga tewas dalam peristiwa G30S PKI.
Ketujuh jenazah jenderal tersebut baru ditemukan pada 3 Oktober di sebuah sumur tua dengan kedalaman sekitar 12 meter dengan diameter 0,75 meter.
Kemudian pada tanggal 4 Oktober 1965, mayat ketujuh anggota perwira tersebut ditemukan dari sumur tempat mereka dilemparkan di Lubang Buaya.
Dengan kondisi itu, membuat tim evakuasi sempat mengalami kesulitan karena keterbatasan alat.
Saat ditemukan, posisi jasad Pahlawan Revolusi di sumur tua tersebut bertumpuk dan baru berhasil dikeluarkan semuanya pada 4 Oktober 1965 dalam kondisi sulit dikenali.
Kemudian tujuh Pahlawan Revolusi dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965.
Profil Tokoh Bergelar Pahlawan Revolusi
Ada 10 tokoh yang diberi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia. Seperti dikutip dari situs Kemendikbud, berikut ini daftar nama tokoh yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI beserta profilnya yang telah bergelar Pahlawan Revolusi:
1. Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani
Ahmad Yani adalah seorang petinggi TNI AD di masa Orde Lama. Ia lahir di Jenar, Purworejo pada 19 Juni 1922.
Ketika muda, Ahmad Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Setelah itu, karier Ahmad Yani berkutat di militer.
Ia turut ikut dalam pemberantasan PKI Madiun 1948, Agresi Militer Belanda II, dan juga penumpasan DI/TII di Jawa Tengah.
Pada tahun 1958 ia diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang Sumatera Barat untuk menumpas pemberontakan PRRI.
la diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tahun 1962. Namun, pada tahun 1965 Ahmad Yani mendapatkan fitnah ingin menjatuhkan Presiden Soekarno. Ia harus tewas ketika pemberontakan G30S pada 1 Oktober 1965.
2. Letjen (Anumerta) Suprapto
Suprapto lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920. Ia sempat mengikuti pendidikan di Akademi Militer Kerajaan Bandung, namun harus terhenti karena pendaratan Jepang di Indonesia.
Pada awal kemerdekaan Indonesia Suprapto aktif dalam usaha merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap.
Ia kemudian memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto dan ikut dalam pertempuran di Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Sudirman.
Kariernya terus melejit di militer. Namun ketika PKI mengajukan pembentukan angkatan perang kelima, Suprapto menolaknya.
Ia pun menjadi korban pemberontakan G30S bersama para petinggi TNI AD lainnya. Jasadnya ditemukan di Lubang Buaya. Suprapto pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
3. Letjen (Anumerta) S. Parman
Siswondo Parman atau yang lebih dikenal dengan S. Parman adalah salah satu petinggi TNI AD di masa Orde Lama. Ia dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918.
Pendidikannya lebih berkutat di bidang intelijen. Ia pernah dikirim ke Jepang untuk memperdalam ilmu intelijen pada Kenpei Kasya Butai.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia mengabdi kepada Indonesia untuk memperkuat militer Tanah Air.
Pengalamannya di bidang intelijen sangat berguna bagi TNI kala itu. Ia mengetahui rencana-rencana PKI yang ingin membentuk angkatan kelima.
Namun, pada 1 Oktober 1965 ia pun diculik dan dibunuh bersama para jenderal lainnya. S. Parman harus gugur dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.
4. Letjen (Anumerta) M.T. Haryono
Mas Tirtodarmo Haryono atau yang lebih dikenal dengan M. T. Haryono lahir pada 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur.
Sebelum terjun ke dunia militer, M. T. Haryono pernah mengikuti Ika Dai Gaku (sekolah kedokteran) di Jakarta pada masa pendudukan Jepang.
Barulah setelah kemerdekaan Indonesia M. T. Haryono bergabung bersama TKR dengan pangkat mayor.
Kepiawaiannya dalam berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman berguna bagi Indonesia ketika melakukan berbagai perundingan internasional.
Ia kemudian berkutat di Kementerian Pertahanan. M. T. Haryono juga sempa menjabat sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Ia kemudian menjadi Atase Militer RI untuk Negeri Belanda (1950) dan sebagai Direktur Intendans dan Deputy Ill Menteri/Panglima Angkatan Darat (1964).
Nahas, di tahun 1965 M. T. Haryono gugur bersamaan dengan para petinggi TNI AD lain akibat pemberontakan G30S.
5. Mayjen (Anumerta) D. I. Panjaitan
Donald Ignatius Panjaitan atau D. I. Panjaitan lahir pada 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli. Pada masa pendudukan Jepang ia memasuki pendidikan militer Gyugun.
Kemudian ia ditempatkan di Pekanbaru, Riau sampai saat proklamasi kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, D. I. Panjaitan ikut membentuk TKR. Ia pun memiliki karier yang cemerlang di bidang militer.
Menjelang akhir hayatnya, ia diangkat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat dan mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat.
Jenderal dari Sumatra ini pun juga harus tewas ketika terjadi pemberontakan PKI 1965 bersama dengan para jenderal lainnya.
6. Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo lahir 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang ia mendapat pendidikan pada Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta, dan kemudian menjadi pegawai negeri pada Kantor Kabupaten di Purworejo.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia memasuki TKR bagian Kepolisian, akhirnya menjadi anggota Korps Polisi Militer.
Ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto dan kemudian menjadi Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo.
Kariernya terus melesat. Tahun 1961 ia diserahi tugas sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat.
Akan tetapi, Sutoyo yang menentang pembentukan angkatan kelima harus ikut gugur dalam peristiwa G30S.
7. Brigjen (Anumerta) Katamso
Katamso dilahirkan pada 5 Februari 1923 di Sragen, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang ia mengikuti pendidikan militer pada PETA di Bogr.
kemudian diangkat menjadi Shodanco Peta di Solo. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia masuk TKR yang kemudian menjadi TNI.
Ia terus berkiprah bersama militer Indonesia. Tahun 1958, Katamso dikirim ke Sumatra Barat untuk menumpas pemberontakan PRRl sebagai Komandan Batalion A Komando Operasi 17 Agustus.
Setelah itu menjadi Kepala Staf Resimen Team Pertempuran (RIP) II Diponegoro di Bukittinggi. Katamso juga menjadi korban keganasan G30S.
Ia harus gugur karena diculik dan dibunuh. Mayatnya ditemukan 22 Oktober 1965. Katamso dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
8. Kapten (Anumerta) Pierre Tendean
Piere Tendean lahir 21 Februari 1939 di Jakarta. Selesai mengikuti pendidikan di Akademi Militer Jurusan Teknik tahun 1962 ia menjabat Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan.
Ia ikut bertugas menyusup ke daerah Malaysia ketika sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.
Pada bulan April 1965, perwira muda ini diangkat sebagai ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution.
Ketika bertugas, Pierre Tendean tertangkap oleh kelompok G30S. Ia pun mengaku sebagai A. H. Nasution di mana sang jenderal berhasil melarikan diri.
Namun, dirinya harus mengorbankan nyawa untuk melindungi Jenderal Nasution.
9. A.I.P. II (Anumerta) K. S. Tubun
Karel Satsuit Tubun dilahirkan di Tual. Maluku Tenggara pada 14 Oktober 1928. Tamat dari Sekolah Polisi Negara di Ambon ia diangkat sebagai Agen Polisi Tingkat II dan mendapat tugas dalam kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon.
Kemudian ia ditempatkan pada kesatuan Brimob Dinas Kepolisian Negara di Jakarta. Tahun 1955 dipindahkan ke Medan Sumatera Utara dan tahun 1958 dipindahkan ke Sulawesi.
Ketika meletus pemberontakan G30S, ia termasuk salah seorang korban keganasan pemberontakan tersebut. K. S. Tubun waktu itu sedang bertugas sebagai pengawal di kediaman Dr. Y. Leimena yang berdampingan dengan rumah Jenderal A. H. Nasution.
Satsuit Tubun melawan dan terjadi pergulatan dan akhirnya K. S. Tubun ditembak hingga gugur. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
10. Kolonel (Anumerta) Sugiyono
Sugiyono lahir pada 12 Agustus 1926 di Desa Gendaran, daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang Sugiyono mendapat pendidikan militer pada Pembela Tanah Air (PETA).
Kemudian ia diangkat menjadi Budanco di Wonosari. Kariernya terus berkecimpung di dunia militer, mengikuti beberapa penumpasan pemberontakan di Tanah Air.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sugiyono yang baru saja kembali dari Pekalongan ditangkap di Markas Korem 072 yang telah dikuasai gerombolan PKI.
la telah dibunuh di Kentungan di sebelah Utara Yogyakarta dan jenazahnya ditemukan pada 22 Oktober 1965 kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Jadi, itulah tadi beberapa Pahlawan Revolusi yang gugur demi melindungi ideologi negara Indonesia. Mari sejenak kita tundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa serta mendoakan mereka yang telah gugur demi bangsa ini.
Semoga Sobat SMP juga bisa mengikuti jejak para pahlawan yang dengan berani mempertaruhkan nyawa demi kemaslahatan NKRI.
Sebagai informasi, tujuh dari sepuluh tokoh Pahlawan Revolusi tersebut yang merupakan petinggi TNI sosoknya diabadikan dalam bentuk Monumen Pancasila Sakti, yang disebut juga sebagai Monumen Pahlawan Revolusi. Monumen ini dibangun dalam rangka mengenang jasa mereka dalam peristiwa G30S/PKI.
Asal-usul penamaan Lubang Buaya, ada dua versi yang beredar di masyarakat terkait penamaan wilayah Lubang Buaya tersebut.
Berikut dua versi asal-usul nama Lubang Buaya:
Versi pertama
Kasubsi Bimbingan dan Informasi Monumen Pancasila Sakti Mayor Caj Edy Bawono mengatakan, tak jauh dari sumur pembuangan jasad 7 Pahlawan Revolusi, terdapat sebuah sungai yang bernama Sunter.
Dahulunya, Sungai Sunter dikenal berbahaya karena banyak buaya yang berkeliaran di sana. Buaya tersebut sering membuat lubang untuk bersembunyi. Sehingga, wilayah tersebut dinamai Lubang Buaya.
Versi kedua
Penamaan Lubang Buaya dicetuskan oleh seorang sakti bernama Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah yang hingga saat ini menjadi legenda.
Keturunan kesembilan dari Datuk Banjir, Yanto Wijoyo mengatakan, leluhurnya itu melakukan perjalanan ke Jakarta pada abad ke-7.
Saat itu, Datuk Banjir melakukan perjalanan melalui Sungai Sunter dengan mengendarai kendaraan dari bambu yang disebut getek.
Getek Datuk Banjir itu tersedot ke dalam lubang hingga menyentuh bagian dasar Sungai Sunter di tengah perjalanan. Namun, Datuk Banjir sendiri selamat karena tak ikut terseret ke lubang itu.
Menurut Yanto, ini merupakan ulah ular dari penguasa gaib yang ada di sungai tersebut, yakni seekor buaya putih. Konon, buaya putih tersebut bernama Pangeran Gagak Jakalumayung.
Sang siluman memiliki anak bernama Mpok Nok. Ia berwujud buaya tanpa ekor, atau disebut buaya buntung. Datuk Banjir pun kemudian bertarung dengan kedua buaya sebelum bisa masuk ke kampung di wilayah itu.
Datuk Banjir kemudian berhasil menaklukkan kedua buaya itu, kemudian ia mencetuskan nama Lubang Buaya yang mengacu pada kampung tersebut.