Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Fenomena Bring Your Own AI Mewabah di 31 Negara Berbahaya

Fenomena Bring Your Own AI Mewabah di 31 Negara Berbahaya – Mayoritas pekerja tidak menunggu perusahaan menyediakan platform kecerdasan buatan (AI) untuk membantu tugas-tugas mereka meskipun ada risiko yang mengintai.

Fenomena Bring Your Own AI Mewabah di 31 Negara Berbahaya
Fenomena Bring Your Own AI

Fenomena Bring Your Own AI Mewabah di 31 Negara Berbahaya

Temuan ini terungkap dalam Work Trend Index 2024 yang dirilis oleh Microsoft Indonesia di Jakarta pada hari Selasa (11/6).

Survei ini melibatkan 31 ribu responden dari 31 negara, dengan data tentang tren tenaga kerja dan perekrutan dari LinkedIn, serta pola produktivitas yang diperoleh dari Microsoft 365.

“Para karyawan tertarik untuk mengadopsi AI di tempat kerja, dan mereka tidak akan menunggu perusahaan untuk menyediakannya,” ungkap Dharma Simorangkir, Presiden Direktur Microsoft Indonesia, di kantornya.

Menurut survei tersebut, 76 persen karyawan di Indonesia mengambil inisiatif untuk membawa teknologi AI sendiri ke tempat kerja, yang juga dikenal sebagai tren Bring Your Own AI (BYOAI).

Staf yang terpengaruh oleh tren Bring Your Own AI ini berasal dari berbagai generasi; Gen Z mencapai 85 persen, Milenial 78 persen, Gen X 76 persen, dan Baby Boomers 73 persen.

Apa yang menyebabkannya?

Fenomena Bring Your Own AI Mewabah di 31 Negara Berbahaya
kecerdasan buatan (AI)

Pertama, terkait dengan absennya rencana perusahaan.

Dharma mengungkapkan bahwa 92 persen pemimpin perusahaan di Indonesia percaya bahwa AI adalah suatu keharusan dalam bisnis.

Namun, masih ada 48 persen pemimpin di Indonesia yang khawatir bahwa organisasi mereka belum memiliki rencana dan visi untuk menerapkan AI.

“Angka ini (48 persen) terbilang cukup rendah. Lebih banyak pemimpin yang telah menyusun rencana terkait AI. Indonesia sudah menunjukkan kemajuan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan negara lain,” ujarnya.

Fenomena Bring Your Own AI Mewabah di 31 Negara Berbahaya
Microsoft

Kedua, tumpukan pekerjaan yang semakin bertambah.

Menurut survei Microsoft ini, 68 persen karyawan mengaku mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kecepatan dan jumlah pekerjaan yang terus meningkat.

“Dalam hal ini, 75 persen knowledge workers menggunakan AI saat bekerja,” tambah Dharma.

Selain itu, 46 persen lainnya baru mulai menggunakan AI kurang dari 6 bulan yang lalu.

Istilah “knowledge workers” mengacu pada pekerja yang terlibat dalam pengolahan informasi dan pengetahuan, termasuk yang bekerja secara remote atau sebagai freelancer. Di Indonesia, 92 persen knowledge workers telah menggunakan Generative AI saat bekerja.

Pertanyaannya, kata Dharma, “Apakah BYOAI merupakan praktik yang tepat? Kurang.”

Menurut studi tersebut, BYOAI memiliki potensi untuk mengurangi manfaat yang dapat diperoleh ketika AI digunakan secara strategis dalam skala besar, dan juga membawa risiko tertentu terhadap data perusahaan.

“Apakah aplikasi yang digunakan dalam BYOAI sesuai dengan standar keamanan dan privasi? Aplikasi-aplikasi yang digunakan dalam BYOAI perlu dievaluasi di perusahaan untuk mengurangi risiko perusahaan, terutama dalam hal pengelolaan data sensitif skala perusahaan,” jelas Dharma.

Berbagai kasus dan penelitian menunjukkan bahwa penggunaan AI juga membawa risiko terkait privasi dan keamanan data.

Sebagai contoh, kasus tiga pekerja di divisi semikonduktor Samsung yang secara tidak sengaja mengungkapkan kode sumber rahasia kepada ChatGPT saat melakukan pengujian kesalahan kode.

Dampaknya, Samsung sempat melarang penggunaan AI untuk membantu pekerjaan.

Perusahaan khawatir data yang tersebar ke platform AI akan disimpan di server eksternal sehingga sulit untuk dihapus dan dikembalikan, bahkan dapat digunakan oleh pihak lain.

Fenomena Bring Your Own AI Mewabah di 31 Negara Berbahaya
tren Bring Your Own AI (BYOAI)
Share: