Heboh Film Dirty Vote Ungkap Desain Kecurangan Pemilu 2024 – Film Dirty Vote baru saja diunggah ke kanal Youtube PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) Indonesia, mengungkap desain kecurangan pemilu.
Heboh Film Dirty Vote Ungkap Desain Kecurangan Pemilu 2024
Tayang perdana pada 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB, dokumenter ini memiliki durasi 1 jam 57 menit dan menampilkan pandangan tiga ahli hukum tata negara tentang berbagai desain kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024.
Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Film Dirty Vote disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, seorang jurnalis investigasi yang dikenal karena karyanya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Dirty Vote bukanlah proyek pertama Dandhy yang berkaitan dengan pemilu. Sebelumnya, pada tahun 2014, Dandhy merilis film Ketujuh.
Tiga tahun kemudian, menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, ia menghadirkan film Jakarta Unfair. Selanjutnya, menjelang Pemilu 2019, Dandhy meluncurkan film Sexy Killers.
Sinopsis Film Dirty Vote
Film Dirty Vote membahas desain kecurangan pada Pemilu 2024 dari perspektif para pakar hukum tata negara di Indonesia.
Isi film mencakup berbagai aspek, mulai dari pernyataan berbeda Jokowi tentang anak-anaknya yang terlibat dalam politik hingga ketidaknetralan pejabat publik.
Potensi kecurangan oleh kepala desa, anggaran dan distribusi bansos, penggunaan fasilitas publik, dan pelanggaran etik oleh lembaga-lembaga negara.
Menurut Feri Amsari, kecurangan tersebut tidaklah terjadi secara spontan atau individu, melainkan dirancang secara sistematis dan luas oleh kekuatan yang telah lama berkuasa bersama selama 10 tahun terakhir.
Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa kecurangan yang telah direncanakan secara bersama-sama pada akhirnya memberi keuntungan bagi satu pihak, yaitu pihak yang tengah memegang kendali kekuasaan dan memiliki akses untuk memobilisasi aparat dan anggaran.
Bivitri Susanti menambahkan bahwa desain kecurangan dalam Pemilu 2024 sebenarnya bukanlah sesuatu yang luar biasa, karena skenario serupa telah digunakan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara.
Ia menegaskan bahwa untuk merancang dan melaksanakan kecurangan tersebut, bukanlah hal yang membutuhkan kecerdasan, tetapi lebih pada keberanian yang tidak bermoral dan tidak takut malu.
Bivitri, seorang dosen di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, menegaskan bahwa Pemilu 2024 tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dia menekankan bahwa masyarakat harus menyadari adanya kecurangan yang luar biasa dalam pemilu tersebut.
Film Dirty Vote mengungkap bagaimana para politisi menggunakan strategi kotor untuk kepentingan pribadi mereka.
Film ini juga menggambarkan berbagai tindakan kecurangan yang terjadi secara terang-terangan namun tidak pernah ditindaklanjuti.
Penyalahgunaan kekuasaan yang terlihat secara jelas demi kemenangan dalam pemilu sebenarnya merusak fondasi demokrasi.
Termasuk sorotan terhadap kekuatan yang besar di balik pasangan calon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, yang dituduh sebagai pelaku kecurangan terbanyak.
Grafik dan data terkait kecurangan Pemilu 2024 disampaikan dengan penjelasan dari ketiga narasumber.
Menurut Bivitri, film ini pada akhirnya menjadi sebuah catatan sejarah yang menyedihkan tentang kemerosotan demokrasi di Indonesia.
Airlangga soal Film Dirty Vote: Itu Black Campaign Pas Minggu Tenang
Film ‘Dirty Vote’ yang baru dirilis membahas dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024, termasuk praktik kampanye hitam, dan dirilis di tengah masa tenang kampanye.
Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, menanggapinya sebagai black campaign dan menegaskan bahwa pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, tidak terpengaruh olehnya.
Dia juga mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya pada tanggal 14 Februari 2024.
Meskipun menjadi perbincangan hangat, Airlangga menyatakan bahwa Pemilu 2024 berjalan dengan aman, tertib, dan lancar. Dia menekankan perlunya menjaga suasana pesta demokrasi agar tidak terpengaruh oleh ketegangan.
Film “Dirty Vote” menyoroti desain kecurangan pemilu yang berpotensi merusak demokrasi di Indonesia.
Sutradara film ini, Dandhy Dwi Laksono, memiliki pengalaman dalam membuat dokumenter sejenis, termasuk film sebelumnya yang viral, “Sexy Killers”.
Film tersebut melibatkan tiga ahli hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari, yang secara mendalam menjelaskan peristiwa yang dianggap mereka sebagai kecurangan dalam pemilu.
Salah satu fokus utamanya adalah penyalahgunaan kekuasaan dalam proses pemilihan.
Film Dituding Berisi Fitnah
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Habiburokhman, menyatakan bahwa film dokumenter “Dirty Vote” berisi fitnah.
Dia mempertanyakan kebenaran pernyataan pakar hukum yang hadir dalam film tersebut serta menyangsikan dugaan kecurangan yang diarahkan kepada Prabowo-Gibran.
Habiburokhman menilai sebagian besar konten yang disampaikan dalam film tersebut bersifat fitnah, bernada kebencian, dan sangat asumtif. Dia menganggap narasi yang disampaikan tidak ilmiah.
Menurutnya, film “Dirty Vote” sengaja dibuat untuk merendahkan penyelenggaraan Pemilu 2024 dan tuduhan-tuduhan yang disampaikan tidak memiliki dasar yang kuat.
Habiburokhman menegaskan bahwa masyarakat kini semakin cerdas dalam menyikapi isu fitnah.
Berdasarkan fakta lapangan dan survei terkini, mayoritas publik sudah memahami pencapaian pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Oleh karena itu, dia yakin bahwa stigma yang dibangun oleh film “Dirty Vote” akan ditolak oleh masyarakat.
“Rakyat mengetahui pihak mana yang sebenarnya melakukan kecurangan dan pihak mana yang mendapatkan dukungan mayoritas karena program dan rekam jejak yang berpihak kepada rakyat,” ujarnya.
“Ia menyatakan bahwa tindakan mereka menyampaikan informasi yang tidak argumentatif dan tendensius, untuk menyudutkan pihak tertentu, bertentangan dengan sikap mayoritas rakyat. Saat ini, saya melihat antusiasme rakyat terhadap apa yang disampaikan Pak Prabowo mengenai kelanjutan pencapaian pemerintahan yang ada sekarang,” tambahnya.
Dandhy Dwi Laksono, sutradara “Dirty Vote,” sebelumnya menyebut filmnya sebagai bentuk edukasi untuk masyarakat, terutama beberapa hari sebelum mereka menggunakan hak pilihnya pada 14 Februari 2024.
“Ada saatnya kita menjadi pendukung calon presiden-wakil presiden, tetapi hari ini saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” katanya.
Dia menjelaskan bahwa film tersebut dibuat dalam waktu sekitar 2 minggu, yang melibatkan proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis.
Proyek tersebut juga melibatkan 20 lembaga, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.