Pengusaha Tolak Pajak Hiburan Naik 75 persen – Dewan Pengurus Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) mengkritik aturan pajak hiburan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Pengusaha Tolak Pajak Hiburan Naik 75 persen
Menyatakan bahwa aturan ini bersifat diskriminatif. Aturan yang disoroti khususnya adalah besaran pajak yang berkisar antara 40-75%.
Menurut pasal 58 ayat (2) UU tersebut, tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas layanan hiburan di diskotik, karaoke, klub malam, bar, dan spa berkisar antara 40% hingga 75%.
Dewan tersebut menilai bahwa pembuatan aturan ini tidak mengikuti prosedur yang seharusnya.
“Mereka menyesalinya, karena konsultasi publik tidak dilakukan sesuai prosedur yang seharusnya. Tidak jelas mengapa hal ini terjadi, tidak ada komunikasi dengan Kementerian Keuangan, Dirjen Perimbangan Keuangan, atau DPR, sehingga situasinya seperti ini,” ujar mereka dalam sebuah konferensi pers di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, pada Rabu (7/2/2024).
Mereka berencana mengirimkan surat edaran (SE) kepada pelaku industri pariwisata untuk membayar PBJT sesuai dengan aturan lama, yaitu sebesar 10%. Pengusaha menganggap pasal 58 ayat (2) tersebut diskriminatif.
“Kami menolak diskriminasi terhadap 5 sektor ini, karena tarifnya sebelumnya sudah maksimal 10%,” tambah mereka.
Hariyadi, juru bicara GIPI, menyatakan bahwa pihaknya sebenarnya setuju dengan aturan pemerintah, tetapi mereka perlu menyelamatkan sektor pariwisata yang telah banyak membuka lapangan kerja.
“Kami setuju dengan aturan, tetapi pembuatannya yang tidak benar dari awal. Kami ingin menyelamatkan perusahaan yang telah memberikan lapangan kerja,” ungkapnya.
Mereka berencana mengeluarkan SE sementara menunggu proses gugatan terkait pajak hiburan.
Jika aturan tersebut tetap diterapkan, ini bisa membahayakan kelangsungan bisnis para pengusaha.
“Posisi kami adalah membayar sementara sampai MK membuat keputusan. Kami ingin membayar menggunakan tarif lama terlebih dahulu,” tandasnya.
Pengusaha Tolak Pajak Hiburan 40%-75% Bakal Kena Sanksi
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menegaskan bahwa ada sanksi bagi para pengusaha yang tidak mematuhi ketentuan Pajak Hiburan atau Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas layanan hiburan dengan tarif antara 40% hingga 75%.
Penegasan tersebut merespons penolakan dari Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) terhadap kenaikan tarif PBJT atas layanan hiburan sebesar 40-75%, yang memilih untuk tetap mengacu pada regulasi sebelumnya.
“Apa ada sanksi untuk pengusaha yang tidak mengikuti aturan pajak yang baru?” tanya wartawan saat konferensi pers di Jakarta Pusat pada hari Selasa (23/1/2024).
Airlangga menjelaskan bahwa Pasal 101 dalam UU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk memberikan insentif fiskal dengan mengurangi pokok pajak daerah.
Dengan demikian, pemerintah daerah memiliki fleksibilitas untuk memberikan insentif di bawah 70% atau bahkan di bawah 40% tergantung pada pertimbangan investasi dan faktor-faktor lainnya.
“Dalam UU HKPD, Pasal 101 memberikan otoritas kepada pejabat daerah untuk memberikan insentif. Mereka dapat memberikan insentif di bawah 70% atau bahkan di bawah 40% tergantung pada investasi dan faktor lainnya,” jelasnya.
Pemerintah juga telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 900.1.13.1/403/SJ pada 19 Januari 2024 kepada Gubernur DKI Jakarta dan Bupati/Walikota sebagai pedoman untuk implementasi PBJT atas layanan hiburan.
SE tersebut memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengurangan tarif PBJT hiburan antara 40-75%, sehingga Kepala Daerah dapat mengurangi tarif PBJT hiburan sesuai dengan tarif sebelumnya.
“Aplikasi kebijakan Kepala Daerah dapat merujuk pada UU HKPD, PP Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta SE Mendagri Nomor 900.1.13.1/403/SJ tanggal 19 Januari 2024,” tambahnya.